Prof. Dr. Laksanto Utomo memperingati hari Kemerdekaan Indonesia ke-79 Tahun bersama masyarakat Ngadas dan suku adat Tengger Malang Jawa Timur.
“Luar biasa antusiasme warga Ngadas dan suku adat Tengger Kab. Malang Jawa Timur mengikuti perayaan Hari Kemerdekaan ke 79 dan pengibaran bendera merah putih cukup meriah dan hikmat, datang sejak pagi hari dengan pakaian adat,” kata Prof. Dr. Laksanto Utomo, via saluran telpon dari Ngadas Tengger Kab. Malang, Sabtu.
Diketahui bahwa Penduduk suku Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Suku Tengger atau lazim disebut Orang Jawa Tengger atau juga disebut Wong Tengger atau Wong Brama, suku yang mendiami dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur, Indonesia.
Mereka ini oleh para Pejuang HAM, Pendiri Negeri, Lingkungan dan Adat sangat dilindungi. Hal itu dibuktikan dalam konstitusi dasar kita Pasal 18 B ayat (2) disebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Masalahnya, kata Prof. Laksanto Utomo, negara kurang Gercep (gerak cepat) dalam mengeluarkan Undang-undang tentang hak dan perlindungan masyarakat adat. Mudah-mudahan dengan terpilihnya Prabowo Subianto, sebagai Presiden RI tahun 2024 – 2029 dapat membantu melindungi masyarakat adat, syukur membuat Kementeriannya.
“Saat ini APHA juga melakukan Uji Materi terhadap Pasal 5 ayat (2) UU No 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang belum mengakomodir keberadaan masyarakat adat,” katanya.
https://youtu.be/jHspNQHyNWM?si=9DGlM1PZEj8QQTjT
Ia juga menambahkan, masyarakat Ngadas Tengger pertumbuhan ekonomi relatif stabil bahkan bagus. Pendapatan per kapita, terus naik, tahun 2022 sudah mencapai 62 juta rupiah per kapita. “itu jumlah yang cukup tinggi yang sulit dilampuai daerah lain,” katanya.
Pernah media lain mewartakan, pendapatan perkapitanya melejit, secara otomatis taraf hidup para petanipun menjadi melonjat. “Tapi mereka belum bisa menyimpan uang di bank. Sehingga hasil panenan mereka kebanyakan digunakan untuk kepentingan konsumtif. Beli mobil dan sebagainya,” ujar Mujianto, tokoh masyarakat setempat.
Meski demikian para petani di sana, dalam mengelola pertanian lebih fokus karena mereka sudah merasakan hasilnya. Sehingga perputaran uang di desa yang berpenduduk 2003 jiwa dengan 536 KK itu setiap harinya tak kurang dari Rp 13 juta. “Kami sedang menjajaki kerjasama dengan Bank tentu yang ada fasilitas ATM-nya untuk bisa membuka kantor di sini agar masyarakatnya gemar menabung,” katanya.
Kondisi itulah yang menjadi salah satu alasan Bupati Malang Dr. H. Rendra Kresna menetapkan desa Ngadas menjadi desa literasi dalam soal keuangan.
Menurut Mujianto hampir semua usia potensi kerja telah memiliki pendapatan. Mayoritas penduduknya memang petani. “Anak-anaknya yang sudah besar, dewasa dan bisa menaiki motor dalam musim panen kentang penghasilannya sebagai ojek sayuran sehari bisa sampai Rp 300 ribu,” tegasnya.