Share laman ini:
Laksanto Utomo_speech in International Conference APHA-MPR RI

Laksanto Utomo menyampaikan pidato dalam International Conference MPR RI & APHA 2023

JAKARTA – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menjadi salah satu motor penggebrak idealisme para akademisi hukum adat, agar masyarakat adat di mana pun berada dapat hidup damai tanpa terganggu hak-haknya oleh investor yang mencoba mengambil hak masyarakat adat yang berujung konflik.

Sepak terjang APHA Indonesia memberikan pendampingan terhadap masyarakat hukum adat, baik langsung terjun ke masyarakat adat yang teriris haknya, juga melobi para pemangku jabatan baik di eksekutif dan legislatif.

Langkah tersebut tidak terlepas dari peran Ketua Umum APHA Indonesia Laksanto Utomo. Di mana sejak tahun 2016 hingga sekarang ia selalu berfikir melindungi masyarakat adat sebagai warisan bangsa.

Sebelum ditunjuk sebagai Ketua Umum APHA Indonesia, Laksanto Utomo melakukan gebrakan yang cukup mendapatkan perhatian dunia hukum di Indonesia, dengan melakukan eksaminasi kasus terdakwa korupsi BLBI Sudjiono Timan atas putusan PK No 97/PK/PID.SUS/2012. Laksanto bersama dengan para akademisi dan pakar hukum di Indonesia sendiri melihat keanehan dalam PK yang diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA), sebab MA menerima PK Sudjiono meski yang mengajukan pihak keluarga, bukan Sudjiono.

Diketahui bahwa Sudjiono telah merugikan negara 600-700 miliar Rupiah.

Saat memimpin APHA Indonesia, Laksanto berperan aktif bersama tim, guna mendesak DPR RI meloloskan Rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) menjadi undang-undang. Pasalnya, RUU MHA yang belasan tahun mengendap di DPR, dapat menjadi payung hukum melindungi masyarakat adat melestarikan wilayah serta menjaga hak-hak adat.

“Kita memperjuangkan RUU masyarakat hukum adat karena jika tidak segera dipercepat terjadi perselisihan dengan investasi,” tegas Laksanto, saat berbincang beberapa waktu lalu, di Kantor APHA, Jakarta Selatan.

Menurut Laksanto pemerintah banyak tidak memberikan kesempatan masyarakat hukum adat, itu terlihat mendegradasi. Sepertinya masyarakat yang mempunyai negara ini, terkesan dimarginalkan. Pemerintah juga mengingkari bahwa hukum adat itu juga living law, kehidupan yang tidak harus diperjanjikan suratnya.

“Inikan aneh pemerintah dengan hukum positif kemudian legalistik positif dengan surat formil dinyatakan pemilik. Loh masyarakat hukum adat itu buta huruf dahulu, tidak punya kertas dimintai. Kayak Rempang akan terjadi Jambi Ternate. Bekas penelitian saya, bahwa masyarakat itu tidak punya formalitas jadi kalau sekarang BPN menanyakan mana bukti kepemilikannya: bukti kepemilikannya mereka pernah tinggal di situ beberapa tahun, dibuktikan dengan adanya makam ada monumen lain bentuknya rumah tinggal lama, ya cuma itu yang bisa ditunjukan,” jelasnya.

Jadi kalau pemerintah sambungnya, meminta menunjukan dipastikan suratnya tidak ada. Cara berfikir pemerintah salah. Masyarakat hukum adat dengan segala kesederhanaannya seharusnya dijunjung tinggi. Dan semestinya mereka mendapatkan hak-haknya supaya kasus kasus seperti Rempang dan beberapa perkara apalagi dengan alasan investasi pada akhirnya mengesampingkan hak-hak masyarakat adat.

“Harapan kedepan harusnya pemerintah melihat perspektif lain. Berarti perspektifnya jangan cuma kesejahteraan ekonomi dan investasi saja,” tegasnya.

Kehidupan msyarakat adat serta kebiasaannya, merupakan warisan kedepan untuk anak cucu kita.

“Sebetulnya yang berpendidikan peduli. Setiap saya mengajar selalu meminta kepada para mahasiwa dan mahasiswi melihat permasalahan pada hati nurani. Saya memberikan pengertian mendasar bahwa ini merupakan salah satu warisan hukum adat. Ini bukan hukum yang ketinggalan, tapi ini adalah living law dari masyarakat kita,” tuturnya.

Ia pun sekarang senang melihat dosen-dosen muda mulai peduli mengajar hukum adat.

Lecturer & Work Experience

  • Legal Officer – Putra Group
    Staff bagian hukum dan umum pada Kelompok Contact Info Kompas
  • Dekan – Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta:
    Menjadi Staff Pengajar dan Dekan di Fakultas Hukum Ukiversitas Sahid pada 2008-2016
  • Pengajar Program S2 Universitas Negeri Jakarta
  • Pengajar Program S2 Universitas Nasional, Mata Kuliah Hukum dan Pembangunan Ekonomi
  • Dosen – Universitas Esa Unggul
    Pengajar Program S2 Mata Kuliah Perbandingan Hukum dan Ekonomi

Organizational Experience

  • Sekjen – Asosiasi Profesi Hukum di Indonesia
  • Wakil Ketua Forum Dekan & Pimpinan Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Se-Indonesia
  • Pendiri dan Pengurus – LSM Pancanaka (Bergerak di bidang Pertanahan)
  • Senior Managing pada Law Firm LPSH HILC
  • Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI) Jakarta
  • Pendiri – Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI (2016-2023)
    Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia (2016-Sekarang)

Education History

  • Sarjana Hukum
    Institution: Universitas Diponegoro, Semarang
    Year of Graduation: 1977
  • Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
    Institution: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Jakarta
  • Doktor Ilmu Hukum
    Institution: Universitas Diponegoro, Semarang

Book and Papers

  • Pemeriksaan Dari Segi Hukum (Due Diligence)
  • Aspek Hukum Kartu Kredit dan Perlindungan Konsumen
  • Budaya Hukum Masyarakat Samin
  • Model Outsource Indonesia dan Konsepsi Perlindungan
  • Hukum Adat
  • Pengacara Cyber: Profesi Hukum Kaum Milenial
  • Penyunting Buku – Penerapan Pidana Kini dan Masa Mendatang: Masa Purna Tugas Dr. H. M. Imran Anwari, S.H., sp., M.H.*

International Papers

  • Local community empowerment in the protection of coral reefs in Indonesia (Scopus Q2)
  • Criminalizing the Freedom of Expression by State during COVID-19 Pandemic in Indonesia (Scopus Q3)
  • LOCAL administration of indigenous peoples in land affairs and food security by law no. 18 of 2012 on food (Scopus Q3)
  • Criminalizing the Freedom of Expression by State during COVID-19 Pandemic in Indonesia (Web of Science)