“Saya atas nama pimpinan DPR ingin mendorong dan meminta kawan-kawan di DPR, para pimpinan partai politik untuk kembali mendorong RUU Masyarakat Adat kembali masuk PProlegna, katanya dalam acara Konferensi Internasional Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia yang dihelat secara hybrid dari Nusantara IV, DPR RI, Jakarta, Senin (7/8).
Ia menyampaikan, keberadaan UU MHA ini merupakan keniscayan, karena sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat adat di Indonesia puluhan tahun setelah RUU-nya berada di DPR.
“Sesungguhnya RUU Masyarakat Hukum Adat sudah didorong puluhan tahun lalu dan masuk Prolegnas, namun hingga hari ini masih berlum jelas rimbanya,” kata dia. Bamsoet menegaskan, perlu UU yang spesifik mengatur masyarakat hukum adat demi menguatkan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia dan berbagai hak konstitusionalnya.
Terlebih, lanjut dia, konstitusi atau UUD 1945, baik sebelum dan sesudah amandemen, negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. “UUD 1945 sebagai konstitusi negara telah menegaskan pengakuan dan perlindungan,” ujarnya.
Adapun pengakuan negara dalam UUD 1945 terhadap masyarakat hukum terdapat, yakni pada Pasal 18B Ayat (2), yakni “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
“Jadi perintahnya sudah ada di atur UUD. Pengakuan terhadap eksistensi hukum adat bukan hal baru karena dari awal sudah dinyatakan UUD kita,” ujarnya.
Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia ini menunjukkan bahwa hukum adat atau masyarakat hukum adat merupakan esensi dalam kehidupan bangsa Indonesia.
“Masyarakat hukum adat menjadi pilar penopang berdiri dan tegaknya bangsa kita hingga saat ini,” ujarnya.
Atas dasar itu, tandas Bamsoet, mandat untuk melindungi dan memajukan kehidupan Masyarakat Hukum Adat merupakan keniscayaan yang harus dipenuhi oleh negara, baik melalui legislasi maupun kebijakan-kebijakan negara yang harus berpihak kepada perlindungan dan kemajuan mereka.
Kemudian dilanjutkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopohukam), Mahfud MD, mengatakan, banyak aset milik masyarakat hukum adat (MHA) hilang karena Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) tak kunjung disahkan.
“Masalah-masalah yang dicatat dari pengalaman saya, berlarut-larut aset masyarakat adat ini hilangnya banyak, karena belum ada undang-undangnya,” kata Mahfud.
Adapun aset milik masyarakat hukum adat di sejumlah daerah di Indonesia yang raib, itu misalnya hutan, sungai, dan lainnya karena dikuasi oleh investor baik dalam dan luar negeri karena mendapat legitimasi dari pemerintah setempat.
Ia menjelaskan, meski Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, baik sebelum dan sesudah amandemen mengakui keberadaan masyarakat hukum adat di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ini perlu UU dan peraturan turunannya untuk memperkuat keberadaan MHA dan berbagai aset milik mereka.
Raibnya aset-aset, khususnya tanah ulayat karena masuknya investor yang mendapat legitimasi dari Pemda setempat. Investor pun merasa punya legalitas atas lahan atau tanah yang sebenarnya merupakan tanah ulayat atau adat.
“Pimpinan daerah kadang kala serahkan ke investor. Setelah diserahkan, [investor] merasa punya dokumen hukum. Ini punya masyarakat adat, [kata investor] tidak bisa karena kami sudah dapat dari Pemda,” katanya.
Selain belum adanya UU MHA, hilangnya tanah atau lahan milik masyarakat adat ini juga di antaranya karena pemekaran wilayah. Awalnya, di satu daerah itu terdapat satu masyarakat hukum adat, kemudian wilayahnya dimekarkan atau dibagi menjadi dua atau lebih.
Perkara pemekaran daerah ini pernah ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). Pemekaran daerah membuat masyarakat adat dan pemerintah adat menjadi terpisah, satu ke wilayah lama dan lainnya ke wilayah baru. Ini terjadi karena belum ada UU MHA.
“Sementara investor terus merangsek masuk. Untung kita punya DPR, MPR, akademisi yang tetap selalu menyuarakan masyarakat adat,” ujarnya.
Persidangan perkara tersebut di MK akhirnya tidak dapat diterima karena belum adanya UU MHA. Selain itu, terjadi saling klaim di antara MHA.? Mahfud menyarankan agar Pemda yang memberikan tanah ulayat kepada investor harus mengembalikannya.
“Begitu mau diputus, datang orang lain, ‘Pak kepala adatnya bukan dia, saya. Karena belum ada UU-nya, semua mengklaim sebagai kepala adat. Apa buktinya, saya punya mahkota, [yang lain] punya keris, punya tombak,” katanya.
“Akhirnya MK menyatakan gugatan tidak dapat diterima, bukan ditolak. Karena simbol-simbol adat ini tidak muncul, apakah yang punya mahkota, atau yang punya tombak atau keris,” ujarnya.
Mahfud kembali menyampaikan, itu terjadi karena belum ada UU MHA. Sementara UU-nya belum ada, tanah itu hilang satu per satu. Kekayaan masyarakat hukum adat hilang satu persatu,” katanya.
Ia mengaku tidak tahu apa yang menjadi tolok ukur batas-batas tanah ulayat atau adat saat ini. Sebelum zaman penjajahan, batasnya adalah sampai titik mana teriakan pihak adat dapat didengar. “Sejauh kau teriak dan bisa didengar orang, di situlah kekuasaanmu. Berteriak oooi, oh sana, yang sana [milik] masyarakat adat berikutnya,” kata dia.
Agar MHA tidak terus kehilangan ulayat atau tanahnya, maka RUU MHA yang sudah sekitar 21 tahun berada di DPR harus segera dibahas dan disahkan.
“Ini untuk menjamin kelangsungan dan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat. Mari melalui? konferensi ini kita dorong bersama-sama DPR, MPR, bersama saya nanti akan mencoba kita dorong masuk Prolegnas,” katanya.
Saat ini perlu langkah nyata. Pasalnya, kalau didiskusikan terus masalahnya akan terus bertambah. Kalaupun RUU MHA yang kemudian disahkan menjadi UU MHA terdapat kekurangan atau kekeliruan, itu bisa diperbaiki.
“Perbaiki saja. Kalau menunggu lengap, enggak jadi. Kalau saya, bisa kita lakukan saat itu kita lakukan,” katanya.
Mahfud tidak sependapat dengan usulan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni bahwa RUU MHA ini baiknya dibahas dan disahkan pada DPR dan Presiden periode mendatang.
“Tahun 2014 [RUU MHA] masuk Prolegnas, sampai sekarang tidak jalan, saya kira tidak usah nunggu tahu pemilu karena ini tidak ada kaitannya dengan tahun politik. Politik elektoralnya enggak ada,” ucapnya.
Menurutnya, siapapun bangsa Indonesia kalau suka pada UU ini, apapun parpolnya, enggak ada kaitan elektoralnya. “Kecuali tentu saja calon-calon konglomerat, korporasi internasional, tapi dengan politik elektoral tidak ada,” katanya.
Atas dasar itu, Mahfud menyampaikan, RUU MHA ini harus didukung oleh semua pihak. “Mumpung ada Pak Sahroni, Pak Bambang [Soesatyo], masukkan ke Prolegnas, karena sudah lama, bayangkan sudah 21 tahun,” ujarnya.
Turut hadir antara lain Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni, Ketua Umum APHA Dr St Laksanto Utomo, serta Direktur Pascasarjana Universitas Borobudur Prof Faisal Santiago. Hadir pula para guru besar yang menjadi narasumber diskusi antara lain Prof Byun Hae Cheoi (Hankuk University of Foreign Studies), Ms Maria Roda Cisnero (Ateneo de Manila University), Guru Besar Universitas Hasanuddin Prof Aminuddin Salle, serta Guru Besar Universitas Jember Prof Dominikus Rato.