Share laman ini:
Dr. Laksanto Utomo menyampaikan pidatonya dalam APHA International Conference 2023 di Gedung Nusantara IV

Dr. Laksanto Utomo menyampaikan pidatonya dalam APHA International Conference 2023 di Gedung Nusantara IV

JAKARTA – “Peringatan Hari Masyarakat Adat International harus menjadi puncak penghormatan terhadap masyarakat adat di manapun berada, termasuk di Indonesia,” kata Laksanto di Jakarta, Kamis (10/8).

Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Laksanto Utomo, mengatakan, Hari Masyarakat Adat Internasional pada 9 Agustus, merupakan momentum bangsa Indonesia, khususnya DPR dan pemerintah untuk mengakui dan melindungi hak-hak serta keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) di Tanah Air dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang MHA.

Dia mengungkapkan bahwa Hari Masyarakat Adat Internasional seharusnya menjadi kesempatan bagi seluruh negara untuk memberikan dan menjaga hak-hak masyarakat hukum adat, mengingat masih banyak negara yang baru-baru ini mulai mengakui hal tersebut, termasuk Indonesia.

Salah satu indikatornya, lanjut Laksanto, yakni masih belum disahkanya RUU MHA yang sudah puluhan tahun draf-nya berada di DPR sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga periode kedua era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ia menyampaikan, Konferensi Internasional APHA Indonesia yang dihelat di Nusantara IV, DPR RI, Jakarta, Senin kemarin (7/8), merupakan pemantik DPR dan pemerintah untuk melindungi keberadaan dan hak-hak MHA.

Terlebih lagi, lanjut dia, Ketua MPR, Bambang Soesatyo; Wakil Ketua Komisi III, Ahmad Sahroni; hingga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mendorong agar DPR dan pemerintah kembali memasukkan RUU MHA dalam prolegnas serta segera membahas dan mengesahkannya.

Mahfud MD sebagai salah satu pembicara kunci dalam konferensi APHA Indonesia tersebut, lanjut Laksanto, menyampaikan bahwa RUU MHA tersesat hingga puluhan tahun.

“Tersesatnya di mana? Ya di Senayan ini. Masa tersesatnya sampai hampir berpuluh tahun,” kata Laksanto.

Atas dasar itu, lanjut Laksanto, APHA Indonesia meminta Ketua DPR, Puan Maharani, dan para ketua fraksi partai di Senayan bisa melihat kondisi masyarakat hukum adat di Tanah Air di akhir masa jabatannya.

“Masyarakat hukum adat di Indonesia sudah lama dipunggungi kepentingan bangsa ini,” ujarnya.

Laksanto mengungkapkan, sejauh ini baru Fraksi Partai NasDem yang mempunyai komitmen dan terus memperjuangkan pembahasan dan pengesahan RUU MHA. “Fraksi lain, APHA menyurati tidak ada jawaban, salah satu yang memberi tanggapan hanya Fraksi NasDem,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, beberapa aturan juga belum menjawab berbagai keresahan MHA, khususnya soal sumber daya alam. Banyak tahan ulayat atau adat berupa hutan, kali, dan lain sebaginya harus berubah dan dikuasi pihak lain karena pembuktian hanya didasarkan pada aspek legal formal.

“Di UU 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kirja, melihat MHA itu tidak lebih baik karena sangat prosedural dan formalis, terutama pengakuan yang harus dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Menurut Laksanto, munculnya instrumen hukum negara tak jarang diperuntukkan bagi prposes eksploitasi sumber daya alam. “APHA mendorong dan menggingatkan kembali RUU MHA ini untuk segera disahkan,” katanya.

Senada dengan Laksanto, Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Univesitas Hasanuddin (FH Unhas) Makassar, Prof. Dr. Aminuddin Salle, menyampaikan, banyak masyarakat adat yang tergusur dari tanah leluhurnya karena belum adanya perundang-undangan yang menjaga mereka.

“Saya ingat peraturan di Banten dahulu, semua tanah negara kecuali dapat dibuktikan oleh yang bersangkutan. Ini masih banyak berpikiran seperti itu, apalagi belum ada UU Hukum Adat, jadi digusur negara karena belum ada aturan,” ujarnya.

Pada sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu, Aminuddin mencatat bahwa ia diminta untuk memberikan pidato dalam sebuah acara yang dihadiri oleh para raja dari seluruh Indonesia atau Nusantara serta beberapa perwakilan dari masyarakat adat.

Pada peristiwa Deklarasi Nusantara tersebut, muncul suatu slogan yang kemudian menjadi viral dan diabadikan dalam prasasti, yaitu: “Kami telah hadir sebelum kamu, kamu ada karena kami mengakui kehadiranmu, ini adalah alasan yang memadai bagi kamu untuk mengakui bahwa kami juga ada.”

“Kami adalah MHA, sedangkan Kamu adalah NKRI. Solusi yang saya ajukan dalam konferensi ini adalah pemenuhan hak konstitusi MHA sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,” katanya.