Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H., M.H., mengatakan, bubarkan Komisi Yudisial (KY). Ia melontarkan pernyatan tersebut karena sudah muak masih banyak hakim, khusunya hakim agung yang koruptif dengan melakukan jual beli perkara.
“KY bubarkan saja,” ucap pria yang menjabat direkur Pascasarjana/ketua Prodi Program Doktor Hukum Universitas Borobudur tersebut dalam webinar bertajuk “Mendesak Reformasi Hukum Total” yang dihelat di Jakarta, Jumat (18/11).
Adapun kasus teranyar hakim agung yang diduga terlibat korups, yakni Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh yang harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, kembali terjadinya kasus tersebut tidak terlepas dari peran KY.
Dewan Pembina Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APTHI) ini menjaslan, KY merupakan lembaga yang bertugas melakukan seleksi atau rekrutmen calon hakim agung.
“Saya pikir harus ada pertanggungjawaban, baik secara organisasi maupun moral karena merekalah yang melakukan proses rekrutment,” ucapnya.
Menurutnya, harusnya KY melakuan seleksi yang ketat untuk menghasilkan calon hakim agung yang kredibel, profesional, dan berintegritas. Ada adagium “garbage in garbage out”, atau kalau yang masuknya sampah maka keluarnya tetap juga sampah.
“Kalau sudah masuk suatu sistem, sering bicara orang baik masuk ke sistem yang tidak baik, nanti akan menjadi tidak baik. Ada satu sistem yang baik, orang tidak baik maka dia akan menjadi orang baik,” ucapnya.
Ia menjalaskan, untuk dapat menjadi hakim agung tidak ujug-ujug atau tiba-tiba dapat menjadi wakil Tuhan. Tetapi harus mengikuti serangkaian proses seleksi yang dilakukan KY.
“Sekarang kan rekrutmennya sudah begitu. Pertanyaannya sederhana saja, menurut kaca mata saya, mengapa memilih orang-orang yang tidak kredibel?” ujarnya.
Untuk menghasilkan calon-calon hakim agung yang kredibel, salah satunya melakukan penelusuran rekam jejak. Dahulu, panitia seleksi calon hakim agung itu menelusuri rekam jejak dengan bertanya kepada berbagai pihak. “Itu full, ditanyanya bukan main, dari A sampai Z,” katanya.
Ia berpandangan bahwa rekrutmen calon hakim agung ini tidak idelal. Terlebih lagi ketika calon-caloh hakim yang telah diseleksi KY tersebut kemudian diuji kelayakan dan kepatutannya fit and proper test oleh DPR.
”Ini lebih repot lagi [kalau melibatkan DPR]. Saya tidak menyalahkan hakimnya, tapi bagaimana proses rekrutmennya yang harus kita pertanyaan. Paradigmanya harus kita ubah dan pertanggungjawabannya juga harus kita tingkatkan,” ujarnya.
Akibat dari proses seleksi yang tidak sesuai harapan itu, maka deklarasi Indonesia negara hukum ini menjadi lucu. Do process of law juga hanya sekadar basa basi, karena yang mempunyai kekuasaan, baik itu berupa uang atau lainnya yang akan dimenangkan oleh hakim.
“Banyak cerita yang terjadi yang baik yang harusnya dimenangkan menjadi tidak baik dan tidak dimenangkan. Itu masalahnya,” katanya.
Selain tugasnya menyeleksi calon hakim agung, KY juga merupakan lembaga yang menegakkan kehormatan hakim. Caranya, lanjut Faisal, yakni dengan melihat perilaku para hakim. Untuk melihat itu, tidaklah rumit atau susah.
“Perilaku-perilaku hakim ini paling gampang sebenarnya, lihat lifestyle. Kalau gaya hidupnya berabah drastis berarti ada something rong,” katanya.
Terkait gaya hidup ini, Faisal mencontohkan bagaimana Irjen Pol. Teddy Minahasa yang terjerat kasus hukum karena terlibat perdagangan sabu-sabu.
“Wajar saya bilang, masa jadi polisi ke kantornya saja pakai moge [motor gede]. Kayak begini ini, perilaku, lifestyle yang merusak,” katanya.
Sebaliknya, lanjut Faisal, kalau seorang telah menjadi hakim, termasuk hakim agung, mereka tidak banyak berubah dari sisi gaya hidupnya sederhana, misalnya penampilan, rumah, kendaraan, dan lain-lain, itu kemungkinan tidak melakukan hal-hal negatif. “Dari situ saja sudah kelihatan,” katanya.
Proses rekrutmen ini merupakan ujung tombak menjaring calon hakim agung yang berkualitas. Bisa juga meniru perusahaan swasta atau lembaga lainnya yang melibatkan pihak ketiga dalam proses seleksinya demi menghasilkan sumberdaya yang andal, kredibel, dan berintegritas.
Sesuai teori manajemen di atas bahwa kalau masuknya sampah maka keluarnya juga sampah, maka dalam seleksi ini harus benar-benar menerapkan teori tersebut.
“Kita perlu belajar teori manajemen juga. Kenapa manajemennya keblinger, karena tidak tidak ada planning yang baik, tidak ada organizing baik, tidak ada controling yang baik, dan tidak ada actuating yang baik. Jadi sederhana saja, kalau manajemennya baik, pasti baik,” ucapnya.
Atas kondisi tersebut, Faisal menegaskan bahwa reformasi hukum sudah tidak bisa ditawar lagi, alias kudu dilakukan, termasuk lembaga yang melakukan seleksi calon hakim agung agar ke depan lebih baik lagi.
“Ke depan mudah-mudahan proses rekrutmen menjadi baik, sehingga begitu nanti menjadi hakim, baik di PN, PT, sampai MA itu orang-orang berkualitas. Kita harus support bagaimanapun juga penegakan hukum atau penyelesaian hukum melalui pengadilan,” katanya. Terkait pernyataan tersebut, Gatro.com masih menunggu tanggapan dari KY.
Source: Gatra