Share laman ini:

JAKARTA – Beberapa waktu lalu pada 7 Agustus 2023 Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menggelar International Conference di Gedung Nusantara IV MPR RI yang dihadiri Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Mekopolhukam Mahfud MD, dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni.

Tak lama kemudian APHA Indonesia melayangkan surat kepada Presiden RI Joko Widodo terkati Percepatan Pengesahan RUU MHA (Masyarakat Hukum Adat).

“Sekarang saatnya bapak Presiden sebagai Kepala Negara menaruh perhatian serius dan sungguh-sungguh terhadap percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat,” Pungkas Laksanto sebagai Ketua Umum APHA Indonesia.

Salah satu poin penting dari hasil konferensi tersebut adalah mendorong dan mendesak Pemerintah maupun DPR RI agar secepatnya menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan RUU MHA menjadi UU tentang Masyarakat Adat.

Sebab sambung Laksanto,  secara legal konstitusional pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat (Masyarakat Hukum Adat), telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Fakta menunjukkan bahwa, hingga saat ini keberadaan masyarakat adat tetap ada dan eksis. Keberadaan masyarakat adat dapat diibaratkan dengan pepatah lama bahwa  ia tak pernah tak lekang karena panas, dan tak pernah lapuk karena hujan. Masyarakat adat sebagai bagian yang terpisahkan dari masyarakat dan bangsa ini, akan selalu hidup dan eksis seiring dengan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Pengabaian Negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya nampak jelas dari berbagai konflik yang terjadi. Masyarakat adat yang berada di garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, justru terusir dan tergusur dari tanah dan hak ulayat yang mereka miliki secara turun temurun, “ paparnya.

Kata Laks, ini adalah sebuah ketidak-adilan nyata yang sejatinya tidak boleh terjadi dibumi Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945. Konflik antara Masyarakat Adat Pantai Raja Kabupaten Kampar Riau dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V,  dan konflik  antara masyarakat adat Sedulur Sikep dengan PT SMS di Kabupaten Pati, Jawa Tengah adalah contoh konkrit dari berbagai konflik serupa, yang menunjukkan lemahnya posisi masyarakat adat terutama jika berhadapan dengan Negara dan Korporasi.

Sejatinya political will dan kehendak yang kuat untuk melindungi masyarakat adat, tidak hanya terucap pada janji-janji saja, tetapi perlu dibuktikan dan direalisasikan  dalam wujud perundang-undangan yaitu Undang Undang tentang Masyarakat Adat. Keberadaan UU ini sangat urgen dalam melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya.

Dokumentasi International Conference Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia di Gedung Nusantara IV MPR RI

Dokumentasi International Conference Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia di Gedung Nusantara IV MPR RI

“Kami berharap Presiden dengan kewenangan konstitusionalnya berkenan memenuhi harapan kami. dan harapan masyarakat adat yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.  Demikianlah, atas perhatian dan perkenan Bapak Presiden kami ucapkan banyak terima kasih. Salam Nusantara, “ tutupnya.

Untuk diketahui, selain kepada Presiden, surat APHA Indonesia juga ditembuskan kepada Menteri Sekretariat Negara Republik Indonesia, Menteri Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia dan juga bagian arsip.